Mendakwahkan Tauhid, Menebarkan Sunnah

Archive for the ‘Tazkiyatun Nafs’ Category

Hakikat Kematian

‘Kematian’… sebuah kata yang tak asing terdengar di telinga kita. Sesuatu yang diyakini seluruh umat manusia… ialah akhir dari kehidupan dunia. Kedatangannya tak pernah diragukan, namun sedikit sekali yang bersiap menyambutnya. Ialah tamu yang datang tanpa permisi dan masuk rumah tanpa basa-basi[1]. Berbagai cara ditempuh manusia demi menghindarinya. Namun… ibarat anak panah yang melesat, ia semakin dekat dan dekat, hingga mencapai sasaran pada waktu dan tempat yang ditentukan, tanpa meleset sedikitpun.

Tak ada seorang pun tahu kapan kematian menjemputnya… ia pun tak tahu di belahan bumi manakah pembaringan terakhirnya. Allah berfirman yang artinya: “Dan tiada seorang jiwa pun yang mengetahui di belahan bumi manakah ia akan mati” (Luqman: 34). Jikalau tempatnya saja tidak diketahui, padahal mereka-reka tempat lebih mudah dari pada waktu, maka jelaslah bahwa waktunya lebih tersembunyi lagi.

Dialah penghancur segala kenikmatan duniawi, dan penghapus segala kepedihannya. Andai saja mati adalah akhir dari segalanya, niscaya ia menjadi primadona bagi setiap jiwa yang merana. Akan tetapi, tak lain ia merupakan pintu pertama dari kehidupan selanjutnya… kesenangan tanpa batas, atau azab yang tak kunjung lepas.

Wajarlah jika manusia membenci mati, bahkan para salaf pun demikian. Suatu ketika, Syuraih bin Hani’ -salah seorang tabi’in- mendengar sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa senang berjumpa dengan Allah, maka Allah pun senang berjumpa dengannya. Dan siapa tidak senang berjumpa dengan Allah maka Allah pun tidak senang berjumpa dengannya”. Usai mendengarnya, ia bergegas menemui Ummul Mukminin ‘Aisyah ra seraya mengatakan: “Wahai Ummul Mukminin, aku mendengar sebuah hadits dari Abu Hurairah, yang jika benar demikian berarti kita semua celaka!”

“Orang celaka ialah yang celaka karena sabda Rasulullah, ada apa memangnya?” sahut Ummul Mukminin. Rasulullah saw bersabda: “Siapa senang berjumpa dengan Allah, maka Allah pun senang berjumpa dengannya. Dan siapa tidak senang berjumpa dengan Allah maka Allah pun tidak senang berjumpa dengannya, padahal tidak seorang pun dari kita melainkan benci terhadap kematian…!” ungkap Syuraih. Maka Ummul Mukminin menjawab: “Sungguh Rasulullah saw memang mengatakan seperti itu, akan tetapi bukan seperti yang kau fahami… hal itu ialah saat mata terbelalak, dada terasa sesak, kulit merinding dan jari-jemari kaku… saat itulah siapa yang senang berjumpa dengan Allah, maka Allah pun senang berjumpa dengannya. Dan siapa yang tidak senang berjumpa dengan Allah maka Allah pun tidak senang berjumpa dengannya”.[2]

Demikianlah gambaran singkat sakaratul maut… sesuatu yang pasti akan kita rasakan. Saat napas tiba-tiba terasa berat… peluh membasahi sekujur tubuh… bertaut betis kiri dan betis kanan, kemudian perlahan-lahan ruh dicabut dari bawah ke atas. Itulah detik-detik perpisahan dengan dunia… saat orang-orang bertakwa tersenyum melihat apa yang dijanjikan untuknya, dan para durjana menyesali perbuatan mereka.

Riwayat-riwayat berikut mungkin bisa memberi gambaran lebih jelas akan kedahsyatan yang dihadapi seseorang saat sakaratul maut hingga ruhnya dicabut,

Al Imam Abu Bakar bin Abid Dunya meriwayatkan dalam kitab Al Muhtadhirin; Tatkala ‘Amru bin Ash ra sekarat, puteranya berkata: “Wahai Ayah… dahulu engkau sering mengatakan: Andai saja aku berjumpa dengan orang berakal tatkala ia sekarat, supaya ia ceritakan padaku apa yang dirasakannya… Nah, sekarang engkaulah orang tersebut, maka ceritakanlah bagaimana kematian itu?” Sang Ayah menjawab: “Wahai puteraku, demi Allah… aku merasa seakan perutku dililit, dan aku bernafas dari lubang jarum… seakan ada sepucuk ranting berduri yang diseret dari ujung kaki hingga kepalaku”.

Suatu ketika, Umar bin Khatthab ra bertanya kepada Ka’ab Al Ahbar:

يَا كَعْبُ حَدِّثْنَا عَنِ الْمَوْتِ! قَالَ: نَعَمْ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ, غُصْنٌ كَثِيْرُ الشَّوْكِ أُدْخِلَ فِي جَوْفِ رَجُلٍ فَأَخَذَتْ كُلُّ شَوْكَةٍ بِعَرَقٍ ثُمَّ جَذَبَهُ رَجُلٌ شَدِيْدُ الجَذْبِ فَأَخَذَ مَا أَخَذَ وَأَبْقَى مَا أَبْقَى

“Hai Ka’ab, kabarkan kepada kami tentang kematian!” “Baiklah wahai Amirul Mukminin” kata Ka’ab. “Ia laksana sepucuk ranting yang banyak durinya, yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Setelah tiap durinya mengait sebuah urat, ranting tersebut ditarik oleh orang yang amat kuat tarikannya, hingga tercabutlah sejumlah uratnya dan tertinggal sisanya” [3]

Barangkali ada sementara kalangan yang sulit menerima kenyataan ini. mereka mengatakan: “Bagaimana mungkin kematian seperti yang anda ceritakan, sedangkan yang kami saksikan pada sebagian orang yang sekarat, kematian tidaklah separah itu? Kami juga menyaksikan bahwa di antara mereka ada yang sempat mengobrol, berwasiat, dan memberi kesaksian atas harta dan hutangnya, padahal ruhnya sedang dicabut… pun demikian dia tetap melanjutkan wasiat dan kesaksiannya tadi, sampai-sampai orang yang baru melihatnya mengira bahwa dia tidak apa-apa dan tidak akan mati… baru setelah itu ia mati. Jelaslah ini bukan kondisi orang yang disakiti sedemikian rupa. Seandainya ia memang disakiti seperti itu, pasti sakitnya tercabik oleh ranting berduri tadi membuatnya tak bisa berwasiat dan sebagainya.

Seandainya apa yang anda ceritakan tadi benar, maka kami pernah menyaksikan sebagian orang yang ruhnya keluar demikian cepat. Hingga kalaupun ia merasakan sakit berlipat ganda dari yang anda ceritakan, ia takkan peduli karena hal tersebut berlangsung cepat sekali.

Memang, kematian bagi kebanyakan orang biasanya didahului oleh sakit yang kadang menjadi luar biasa menjelang kematiannya, baru kemudian mati. Sakit tersebut kadang dirasakan orang lain sampai yakin dirinya bakal mati seakan melihat kematian sebelum ia mati, kemudian menghilang begitu saja tanpa bekas, seakan dirinya tak pernah tahu menahu tentang itu…”

Jawabnya, “Anda benar… masalahnya memang seperti yang anda katakan, dan pada sebagian orang memang disaksikan seperti itu. Memang kematian terkadang terasa ringan dan mudah bagi sebagian orang. Namun bagi sebagian lainnya atau bahkan bagi kebanyakan orang, ia terasa berat dan sangat menyakitkan! Dari golongan manapun anda, baik golongan mereka yang mudah matinya ataupun yang sulit, anda pasti merasakan salah satunya…. mau tidak mau anda harus mengalaminya.

Lantas, apa yang menjamin bahwa anda tidak akan merasakan yang paling pedih dan menyakitkan?? Apa yang membuat anda merasa aman dari ini semua?? Bagaimanapun jadinya, kematian adalah hal yang tidak disukai dan pengalaman yang amat pahit. Bahkan orang yang diperlihatkan tempat tinggalnya di Surga, lalu dikatakan kepadanya: “Matilah, kamu akan menuju kesana”, pasti akan ciut juga nyalinya walau memberanikan diri”.[4]

Namun, agaknya perkenalan singkat kita dengan kematian masih terlalu dini untuk mengungkap hakikatnya. Karenanya, dalam pembahasan berikut, kami mencoba mengumpulkan hal-hal penting yang berkaitan dengan mati, yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, serta ucapan para ulama.


[1] Rasulullah bersabda: “Dawud as adalah Nabi yang amat pencemburu. Tiap keluar rumah ia selalu mengunci pintu agar tak seorang pun bisa menemui isterinya hingga ia kembali. Suatu ketika ia keluar dan mengunci pagar rumahnya. Ketika isterinya datang, ia melongok ke dalam rumah dan menjumpai seorang laki-laki di tengah rumah. Ia bertanya pada penghuni rumah: “Dari mana orang ini masuk padahal rumahnya terkunci? Demi Allah, kalian pasti akan dimarahi oleh Dawud”. Sesaat kemudian Dawud pun as datang… Ia terkejut saat mendapati seorang laki-laki berdiri di tengah rumah. “Anda Siapa?” tanyanya. “Akulah yang tak gentar terhadap raja, dan tak bisa dihalangi oleh penjaga” jawab orang itu. Maka Dawud berkata: “Demi Allah, berarti engkaulah malaikat maut… selamat datang perintah Allah”. Lalu ia berjalan hingga tempat kematiannya dan wafat disana…” (HR. Ahmad no 9432. Al Iraqi menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik) (Takhrij Ahadiets Ihya’ Ulumiddien oleh Al Iraqi), Al Haitsami juga mengatakan bahwa semua perawinya tsiqah).

[2] HR. Muslim no: 2685.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya no (19/484 no 36793), dan Abu Nu’aim Al Asbahani dalam Hilyatul Auliya’ 5/365. Riwayat ini sanadnya dha’if dan termasuk kisah israiliyat, jadi boleh kita percayai boleh juga tidak.

[4] Lihat: Al ‘Aaqibah fi dzikril maut hal 116-117, oleh Abdul Haq Al Isybily.

re: basweidan.wordpress.com

Harapan tanpa Batas

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Dzat yang menciptakan kehidupan dan kematian sebagai ujian bagi manusia. Shalawat dan salam semoga terlimpah selalu atas Hamba dan Kekasih Allah, Rasulullah Muhammad e beserta keluarganya, para sahabatnya dan pengikut setia mereka.

Selama hidupnya, manusia tentu sering berangan-angan. Perbedaan angan-angan tiap orang tergantung pada lingkungan tempat tinggalnya, pola pikir yang ditanamkan orang tua, dan orang-orang sekelilingnya.

Kalau seseorang ditanya: Apa angan-angan anda dalam hidup ini? maka jika ia hidup di antara orang miskin, melihat kemiskinan dengan mata kepala dan merasakan kepedihannya, pasti ia berangan-angan hidup sebagai orang kaya. Ia ingin rumah megah dan kendaraan mewah, pokoknya ia ingin hidup penuh kenikmatan layaknya kebanyakan manusia.

Kalau anda besuk seorang pesakitan yang terbaring di atas kasur, yang tak mampu berkutik dan selalu dibatasi kebebasannya, sampai-sampai tidur dan makan pun tak enak; lalu anda tanyai apa angan-angannya? Pasti ia mengangankan kesembuhan walau harus menebusnya dengan seluruh kekayaan.

Kalau orang-orang kaya ditanya tentang angan-angan mereka, pasti mereka mengangankan untuk lebih kaya lagi, agar mengalahkan si Fulan dan si Fulan. Demikian seterusnya… yang miskin ingin kaya dan yang kaya ingin semakin kaya, angan-angan di dunia memang tak ada batasnya.

Benarlah yang disabdakan Rasulullah saw dalam hadits Anas ra :

لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ، أَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ، وَيَتُوْبُ اللهُ عَلىَ مَنْ تَابَ

“Andai anak Adam diberi emas satu lembah, ia ingin mendapat dua lembah. Tidak ada yang dapat membungkam mulutnya selain tanah, dan Allah mengabulkan taubat hamba-Nya yang bertaubat”[1]Maksudnya, anak Adam akan selalu tamak terhadap dunia hingga ia binasa dan mulutnya tersumbat tanah pusara.

Meski angan-angan mereka demikian banyak dan beragam, namun semua berusaha mati-matian untuk merubahnya jadi kenyataan.

Memang, boleh jadi Allah memberikan taufik bagi mereka dalam hal ini jika mereka menempuh sebab-sebabnya. Tapi… di sana ada sejumlah orang yang tak mungkin mewujudkan angan-angan mereka dan permintaan mereka tak pernah diperhatikan. Siapakah mereka menurut Anda? Dan mengapa angan-angan mereka tak mungkin terwujud? Dapatkah kita membantu mereka atau mengurangi kesedihan mereka?

Mereka yang angan-angannya tak mungkin terwujud, ialah yang kini terbaring dalam kuburnya. Mereka tertawan oleh amal perbuatan mereka, dan takkan dilepaskan. Merekalah musafir terasing yang tak pernah dinantikan kepulangannya. Merekalah orang-orang yang telah meninggal dunia….

Kiranya apakah yang mereka angan-angankan menurut Anda? Siapa pula menurut Anda yang bisa menceritakan angan-angan mereka kepada kita, setelah komunikasi mereka dengan kita terputus dan mereka tak lagi disebut-sebut?

Marilah kita bercerita sedikit tentang sekelompok manusia yang terlupakan ini. Supaya kita tahu, apa cita-cita mereka yang pandangan matanya terpaku setelah melihat Jannah dan Naar, dan menyaksikan para malaikat Allah ‘azza wa jalla . Segala yang ghaib menjadi kasat mata bagi mereka, dan mereka faham akan hakikat dunia dan akhirat. Mereka yakin selama di alam barzakh tersebut, bahwa mereka kelak dibangkitkan di hari yang agung… Kiranya, masihkah mereka ingin kembali ke dunia untuk bersenang-senang dan menikmati kehidupan? Atau menambah kekayaan dan bertamasya?

Sesungguhnya, cita-cita kebanyakan manusia dalam hidupnya tak lebih dari mendapat pekerjaan yang diidamkan, istri yang cantik, kendaraan yang nyaman, rumah yang luas, saham, properti, rekreasi, tamasya, makan-makan, pesta, dst…

Namun mereka yang telah tiada, apa yang mereka inginkan dari dunia yang telah mereka tinggalkan? Dunia yang kini mereka fahami hakikatnya setelah perpisahan abadi dengannya…[2]

Kalau saja mereka dapat berbicara, apa kiranya yang akan mereka katakan…? Apakah pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan…? Lantas pelajaran apakah yang bisa kita petik dari ini semua…?

Semuanya akan anda dapatkan dalam lembaran-lembaran berikut. Akan tetapi, sebelum melanjutkan pembicaraan, ada baiknya jika kita berkenalan dengan biang keladi dari ini semua…

Benar, marilah sejenak kita memahami hakikat kematian. Mudah-mudahan dengan memahaminya, akan menyadarkan mereka yang terlena, dan memacu yang sadar agar lebih bertakwa.

Allahumma amien…



[1] HR. Bukhari (6439) dan Muslim (1048).

[2] Disadur dari: Umniyyaatul Mauta hal 1-2, oleh Dr. Muhammad bin Ibrahim An Na’iem dengan sedikit penyesuaian.

 

 

ref: http://basweidan.wordpress.com

Sepenggal Cerita Keikhlasan

Ikhlas… sebuah kata yang mudah diucapkan dengan lidah namun tidak mudah melekat di hati, lihatlah keadaan para salaf kita, mereka orang yang paling terjaga hatinya, menyelami kehidupan mereka seperti kita bertamasya ke taman bunga, indah di mata, wangi terasa, dan keteduhan akan datang menyapa kita.

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, ”Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (Al-Madkhol, 1/164, Mawqi’ al-Islam).

Para salaf dahulu selalu menjaga hati mereka, mereka takut mata-mata manusia melihat ibadahnya, mereka menyembunyikan amal baktinya melebihi kondisi mereka dalam menyembunyikan emas-permata, mereka takut digugurkan pahala amal ibadah mereka.

”Sebagian kaum salaf mengatakan, ”Aku berharap ibadahku hanyalah antara diriku dengan Alloh, tidak ada mata yang melihatnya.””

Marilah kita simak mutiara kisah dari para salaf, yang dengannya akan tergambar luasnya samudra keikhlasan mereka :

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata : ”Tidaklah aku bersungguh-sungguh mengobati sesuatu hal, melebihi kesungguhanku dalam menjaga hatiku, karena ia selalu berubah-ubah padaku.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 18, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir tahun 2002).

Benarlah apa yang beliau katakan, karena hati manusia ibarat kapas yang berada di tanah yang luas lagi lapang, kemudian datanglah angin kencang yang menyapa, maka terombang-ambinglah kapas tadi melaju tanpa tujuan.

Keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Alloh

Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsauri rahimahullah menangis, kemudian beliau berkata, ”Aku takut ditulis oleh Alloh sebagai orang yang celaka,” beliau terus menangis, kemudian berkata, ”Aku takut keimanan ini dicabut dari diriku ketika aku akan meninggal dunia.” ini menunjukkan bagaimana takutnya beliau dari terbaliknya hati dari keimanan menuju kekufuran. (Khusnus Khotimah wa Suu’uhaa, karya Kholid bin ’Abdurrohman asy-Syayi’, hal. 4, cet. Al-Maktab at-Ta’awuny).

Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Dinar rahimahullah berdiri di tengah malam sambil memegang jenggotnya, seraya berkata : ”Ya Ilaahi, engkau telah mengetahui siapa saja (di antara hambamu) yang masuk surga dan siapa saja yang jadi penghuni neraka, lalu kemanakah tempat kembaliku (apakah surga yang ku tuju ataukah neraka yang menantiku). Beliau selalu mengucapkannya sampai datang waktu Subuh (fajar).” (Khusnul Khotimah wa Suu’uhaa, hal. 4).

Diriwayatkan pula bahwa Ayyub as-Sikhtiyaani rahimahullah adalah seorang yang berhati lembut, apabila beliau menjumpai ibroh (hikmah), maka beliau tak kuasa menahan air matanya, kemudian beliau mengusap wajah dan hidungnya sambil berkata, ”Alangkah berat penyakit flu ini,” beliau melakukan itu karena tidak ingin tangisannya karena Alloh diketahui orang lain. (Siyar A’laam an-Nubala’, 6/20, karya al-Imam Adz-Dzahabi).

Jika salah seorang dari generasi tabi’in tidak mampu berpura-pura sakit untuk merahasiakan air matanya, ia berdiri sebab khawatir air matanya diketahui banyak orang. Itulah yang disebutkan Imam Hasan al-Bashri. Ia berkata, ”Seseorang duduk di satu tempat. Jika air matanya keluar, ia menahannya. Jika ia khawatir air matanya tidak dapat dibendung, ia berdiri.” (Az-Zuhd, Imam Ahmad : 262).

Al-A’masi rahimahullah mengatakan, ”Suatu saat Hudzaifah menangis di dalam sholatnya. Setelah selesai maka beliau berbalik dan ternyata ada orang dibelakangnya maka beliau pun berkata, ”Jangan kamu beritahukan hal ini kepada siapapun.”” (Diriwayatkan oleh al-hasan adh-Dhorrob dalam Dzamm ar-Riya’, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53, cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Laila melaksanakan sholat, kemudian tatkala di merasa ada seseorang yang akan masuk (kamarnya) maka beliau langsung berbaring di tempat tidurnya. Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa sebagian para salaf dahulu melaksanakan sholat dan menangis, kemudian tatkala ada seorang tamu yang datang maka mereka segera mencuci wajah-wajah mereka untuk menghilangkan bekas air mata mereka (Lihat Miftah al-Afkar li at-Ta’ahhubi li Dar al-Qoror, 2/27, karya ’Abdul ’Aziz bin Muhammad as-Salman).

Itulah para ulama’, tangisan mereka adalah tangisan keikhlasan, keteduhan dan sumber kebahagiaan, bukan tangisan kepura-puraan, kemunafikan dan berharap pujian sebagaimana yang dilakukan kebanyakan manusia zaman sekarang, semoga mata mereka –para salaf- dijaga oleh Alloh dari api neraka.

Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ”Ada dua mata yang tidak tersentuh api neraka : mata yang menangis karena Alloh dan mata yang terjaga di malam hari karena berjuang di jalan Alloh.” (Dikeluarkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya : 1337 dan dishohihkan al-Albani dalam al-Miskat : 3829).

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : ”Tujuh golongan yang Alloh naungi pada hari kiamat nanti di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Alloh, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antaranya : seseorang yang mengingat Alloh dalam kesendiriannya kemudian mengalirkan air matanya.” (Dikeluarkan Imam Bukhori dalam Shohih-nya : 1357 dan Imam Muslim : 2427).

Tidakkah kita melihat tangisan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Diriwayatkan dari ’Ubaid bin ’Amir radhiyallahu ‘anhu : ”Sesungguhnya dia bertanya pada ’Aisyah radhiyallahu ‘anha : ”Kabarkan kepada kami perkara yang paling Anda kagumi dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” kemudian beliau (’Aisyah) berkata, ”Pada suatu malam Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ”Wahai ’Aisyah, biarkan aku menyembah kepada Tuhanku malam hari ini,” maka aku berkata, ”Ya Rosululloh, aku ingin berada di dekatmu dan menyukai apa yang menggembirakanmu,” tetapi beliau berdiri dan mengambil air wudhu, kemudian beliau berdiri melaksanakan sholat yang panjang, beliau terus menangis dalam sholatnya, sampai basah pangkuannya, dan basah pula tanah tempat beliah bersujud, kemudian datanglah Bilal untuk menjembut beliau (melaksanakan sholat Subuh), ketika dia (Bilal) menjumpai Rosululloh menangis maka dia mengatakan, ”Ya Rosululloh, Anda menangis? Bukankah Alloh telah mengampuni dosa Anda, baik yang lalu atau yang akan datang?” Beliau      menjawab, ”Kenapa aku tidak menjadi hamba yang bersyukur? Telah turun kepada-ku sebuah ayat, sungguh celaka bagi umatku yang membacanya akan tetapi tidak memahaminya.” Kemudian beliau membaca ayat : ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron : 190).” (Dishohihkan al-Albani dalam Shohih at-Targhib : 1468 danash-Shohihah : 68).

Sungguh alangkah jauhnya kita dari keikhlasan mereka…

Keikhlasan para salaf dalam beramal sholih

Adalah ’Ali bin al-Husain bin ’Ali rahimahullah, beliau biasa memikul karung berisi roti setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan :

”Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam kemarahan Robb ‘Azza wa jalla”. Penduduk Madihan tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ’Ali bin al-Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan setiap malamnya. Di punggung Ali bin al-Husain terlihat bekas hitam karena seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam hari. (Hilyatul Auliya’, 3/135-136).

Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar : ”Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia (masuk surga)”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6500).

Ibrohim an-Nakha’i rahimahullah menceritakan, ”Sesungguhnya mereka dahulu –ulama salaf- apabila sedang berkumpul maka mereka tidak suka apabila seorang –di antara mereka- harus mengeluarkan cerita terbaik yang dia alami atau –mengeluarkan- perkara terindah yang ada pada diri mereka”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd, dinukil dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal. 53 cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).

Keikhlasan para salaf dalam berdakwah

Ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad bin Wasi’ seraya berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu’, tidak menangis, dan sulit bergetar dengan nasihat. Mengapa?” Muhammad berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasihat yang kamu sampaikan) tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasihat itu jika keluarnya ikhlas dari dalam hati maka akan mudah masuk ke dalam hati (orang yang mendengarnya).” (Siyar A’lam an-nubala : 6/122).

Keikhlasan kaum salaf dalam menuntut ilmu

Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, ”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Alloh, akan tetapi ternyata ilmu itu enggan, sehingga dia menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar karena Alloh.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil dari Ma’alim, halaman 20).

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Semoga Alloh merahmati seseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya. Jika keinginannya karena Alloh dia teruskan, namun apabila untuk selainNya di tangguhkan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman : 5/458).

Kedudukan ikhlas bagi kaum salaf

Ibnu Qoyyim irahimahullah berkata, ”Beramal tanpa keikhlasan dan ittiba’ (meneladani Nabi), ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan pepasiran. Hanya memberatkannya dan tidak bermanfaat baginya.” (al-Fawa’id, Ibnul Qoyyim (691-751 H), hal. 55, tahun 1993, Darul Fikr, Beirut).

Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala : ”Allohlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk : 2).

Beliau rahimahullah berkata, ”Yang dimaksud paling baik amalnya, yakni yang paling ikhlas dan paling benar (dan sesuai tuntunan Alloh). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas apabila dilakukan karena Alloh, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah Rosululloh.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, I/36).

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah  berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata : ”Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat dan berapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat.”

Mutharrif bin ’Abdulloh rahimahullah berkata, ”Baiknya hati tergantung dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.” (Dinukil dari kitab Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam karya Ibnu Rojab al-Hambali).

Imam al-Jailani rahimahullah berkata kepada salah seorang muridnya, ”Beramallah dengan ikhlas dan jangan lihat seluruh amal perbuatanmu. Amal perbuatanmu yang diterima adalah amal perbuatan yang engkau tujukan untuk mengharapkan keridhoan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan keridhoan manusia. Engkau celaka jika beramal untuk manusia, namun engkau berharap perbuatanmu diterima Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ini perbuatan gila!” (Al-Fathu ar-Robbani : 36).

As-Susi rahimahullah berkata : “Barangsiapa menyaksikan ikhlas dalam keikhlasannya maka keikhlasannya membutuhkan ikhlas.”

Yusuf bin Husain ar-Rozi rahimahullah berkata, “Perkara yang paling mulia di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan riya’ dari hatiku, akan tetapi seakan-akan riya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang berbeda. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 2, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).

Penutup

Kita akhiri pembahasan kali ini dengan doa seorang salaf, Muthorrif bin ‘Abdillah rahimahullah berkata dalam doanya : “Ya Alloh, aku memohon ampunan kepadaMu dari dosa yang aku sudah bertobat darinya kemudian aku terjatuh lagi di dalamnya, aku memohon ampunan kepadaMu dari amalan yang aku jadikan hanya untukMu kemudian aku tidak menepatinya untukMu, dan aku memohon ampunan kepadaMu dari amal yang aku anggap hanya untukMu, mengharap ridhoMu, kemudian bercam-purlah hatiku dengan sesuatu yang Engkau mengetahuinya (maka ampunilah dosaku).” (Jami’ al-‘Ulum wal al-Hikam, hal. 27, karya Ibnu Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).

Sumber: Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 70 :: Vol. 9 No. 04 :: 1432H/2011M oleh Ustadz Abu Abdillah Fadlan Fahamsyah, Lc

قلب

Qolbun Roqiq

Awan Tag