Mendakwahkan Tauhid, Menebarkan Sunnah

Posts tagged ‘Salafiyyah’

Mengapa Memilih Manhaj Salaf?

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf.

Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234).

 

Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).
Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih.

Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa?

Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya.

Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).
Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ Artinya : “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).” [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

 Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:

 – Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam

. – Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.

Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79).

Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:

 1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.

2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.

3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.

4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:

1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata:

 “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).

2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata:

 “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).

3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata:

 “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).

4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata:

 “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)

5. Al-Imam As Syathibi berkata:

 “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

 “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.

Wallahu a’lamu bish shawaab

ref: darussalaf.org

Dakwah Salafiyyah Pemecah Belah Ummat

Segala puji bagi Allah al-Wahhab, karena karuniaNya yang banyak kepada dakwah salafiyyah. Dakwah ini semakin berkembang diseluruh pelosok negeri, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:

ليبلغن هذا الأمر مبلغ الليل و النهار و لا يترك الله بيت مدر و لا وبر إلا أدخله هذا الدين بعز عزيز أو بذل ذليل يعز بعز الله في الإسلام و يذل به في الكفر

Artinya : Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ini ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakan dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran” Hadits Riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak (4/477)

Bukankah Islam yang dijanjikan dalam hadits ini, dialah Islam yang telah diamalkan oleh salafunassholeh. Karena sungguh kejayaan Islam telah berlalu di tangan mereka, bersatunya seluruh kaum muslimin diseluruh penjuru dunia, ada pada masa mereka, dan sungguh mereka yang telah berkorban jiwa dan raga untuk sampainya Islam keharibaan kita.

Maka sudah merupakan sunnatullah, bahwa dakwah salafiyyah akan senantiasa mendapatkan ancaman, tekanan, fitnah dari musuh-musuh dakwah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dan para shahabat telah menerimanya. Hal ini sesuai dengan jawaban Rasulullah tatkala beliau ditanya,

أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ ، فَيُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ

Artinya : Siapakah manusia yang sangat berat ujiannya? Rasulullah menjawab, “para nabi kemudian orang yang semisal mereka dan yang semisal dengan mereka, seorang hamba akan diuji sesuai dengan kadar agama yang dimilikinya” Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya (4/180)

Dan sudah sering kali kita mendengar bahwasannya dakwah salafiyyah yang diberkahi ini dikatakan sebagai dakwah yang memecah belah ummat. Salafiyyin sukar untuk diajak bekerja sama mewujudkan kejayaan Islam. Adapun kelompok-kelompok lain tak selamat dari pena-pena nasehatnya.

Ketahuilah, para pembaca sekalian. Sungguh Allah telah menamakan kitabNya Al-Qur’an sebagai Al-Furqon (pembeda). Allah berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

Artinya: Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS. Al-Baqoroh: 185)

Syaikh As-Sa’di berkata, “…yakni Al-Qur’anul Karim, yang berisi petunjuk untuk kebaikan kalian, agama maupun dunia, dan penjelasan tentang kebenaran sejelas-jelas uraian, dan pembeda antara yang benar dan yang salah, petunjuk dan kesesatan, dan golongan yang bahagia maupun golongan yang celaka” (Tafsir As-Sa’di I/86)

Demikianlah pula Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, beliau juga merupakan pembeda antara yang haq dan yang batil. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari no. 7281 ,

جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللهِ يَقُولُ جَاءَتْ مَلاَئِكَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ نَائِمٌ فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ نَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ فَقَالُوا إِنَّ لِصَاحِبِكُمْ هَذَا مَثَلاً فَاضْرِبُوا لَهُ مَثَلاً فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّهُ نَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ فَقَالُوا مَثَلُهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى دَارًا وَجَعَلَ فِيهَا مَأْدُبَةً وَبَعَثَ دَاعِيًا فَمَنْ أَجَابَ الدَّاعِيَ دَخَلَ الدَّارَ وَأَكَلَ مِنَ الْمَأْدُبَةِ ، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّاعِيَ لَمْ يَدْخُلِ الدَّارَ وَلَمْ يَأْكُلْ مِنَ الْمَأْدُبَةِ فَقَالُوا أَوِّلُوهَا لَهُ يَفْقَهْهَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنِّهُ نَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ الْعَيْنَ نَائِمَةٌ وَالْقَلْبَ يَقْظَانُ فَقَالُوا فَالدَّارُ الْجَنَّةُ وَالدَّاعِي مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم فَمَنْ أَطَاعَ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ، وَمَنْ عَصَى مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم فَرْقٌ بَيْنَ النَّاسِ 

Artinya: Jabir bin Abdillah berkata, suatu ketika malaikat mendatangi nabi shallallahu ‘alayhi wasallam sedangkan beliau dalam keadaan tidur, maka berkatalah sebagian malaikat, sesungguhnya dia tidur, dan berkata sebagian yang lain sesungguhnya matanya terpejam, tetapi hatinya terjaga, maka para malaikat itu berkata, sesungguhnya sahabat kalian ini memiliki perumpamaan, maka berilah perumpamaan baginya. Maka berkata sebagian malaikat, sesungguhnya dia tidur, dan sebagian lain berkata sesungguhnya matanya terpejam, dan hatinya terjaga, maka para malaikat berkata, perumpamaannya seperti seorang lelaki yang membangun sebuah rumah, dan menjadikan didalamnya undangan, serta mengutus pengundang, maka barangsiapa yang memenuhi undangan, maka dia akan masuk kerumah dan memakan hidangan, dan barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka dia tidak akan masuk kerumah dan tidak akan memakan hidangan, para malaikat berkata, tolong tafsirkan perumpamaan itu kepadanya. Lantas sebagian berkata, sesungguhnya dia tidur dan sebagian berkata pula sesungguhnya mata tertidur sedangkan hati terjaga maka mereka katakan, rumah itu adalah surga dan pengundang itu yakni Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, maka    barangsiapa mentaati Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, sungguh ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang durhaka kepada Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam, sungguh ia telah durhaka kepada Allah, dan Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam pembeda diantara manusia.

Demikian pula shahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, dimana beliau dinamai oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dengan julukan al-Faaruuq (pembeda) karena melalui dirinya, Allah subhanahu wata’ala membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Maka wahai pembaca, mungkinkan kita akan melupakan perbedaan didalam dakwah dengan hanya mencari persamaan? Akankah kita diamkan perbedaan prinsip didalam agama ini, dengan dalih mempersatukan ummat? Akankah kita persatukan kaum muslimin, sementara disana banyak mereka yang masih getol dengan bid’ah (ibadah-ibadah baru dalam agama) dan kesyirikan (perbuatan menyekutukan Allah dalam ibadah)? Akankah kita berdiam dari orang-orang yang memberontak kepada penguasa dengan mengatasnamakan jihad? Akankah kita diam dari orang-orang yang menghina para shahabat yang mulia, atas nama cinta ahlul bayt Rasulullah? Akankah kita diam dari orang-orang yang mengalihkan tauhid sebagai tujuan dakwah kepada khilafah ? Akankah kita diam dari orang-orang yang menolak mengambil hadits-hadits Rasulullah dan mencukupkan diri dengan mengambil Al-Qur’an semata?

Wallahi, bagi orang yang mendapatkan hidayah sunnah, tentu akan menjawab tidak. Simaklah satu riwayat berikut ini, yang menunjukkan bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menguraikan bahwasannya ada jalan yang lain selain jalan lurus yang telah ditempuh beliau bersama para shahabatnya,

عن عبد الله بن مسعود قال : خط لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم خطا ثم قال هذا سبيل الله ثم خط خطوطا عن يمينه وعن شماله ثم قال هذه سبل قال يزيد متفرقة على كل سبيل منها شيطان يدعو إليه ثم قرأ { إن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله }

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menggariskan kepada kami sebuah garis kemudian beliau berkata ini jalan Allah, kemudian beliau menggariskan garis-garis yang banyak di kanan dan di kiri garis tadi, kemudian beliau berkata ini jalan-jalan, ia berkata bertambah bercerai berai dimana setiap jalan tersebut terdapat syaithan-syaithan yang memanggil kepadanya, kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnadnya (1/435)

Maka sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk menjadi seorang salafi. Al-Imam Adz-Dzahabi berkata: “As-Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala` 6/21)

Kita mengikuti manhaj (cara beragama) salafussholeh dari kalangan shahabat nabi ridwanallahu ‘alayhim ajma’in. Bersabar didalam menuntut ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Sesungguhnya kebenaran itu tak akan pernah bersatu dengan kebatilan, dan kebenaran itu tak akan pernah tenggelam walaupun badai fitnah terus melanda.

Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf maka ia adalah kesesatan.” (Al-Muwafaqat 3/284)

Sungguh Salafiyyah pemecah belah ummat! Ummat yang berbuat syirik, menuju tauhid. Ummat yang berbuat bid’ah, menuju Sunnah. Ummat yang masih mengambil agama mereka dari nenek moyang mereka, atau mengikuti pemahaman tokoh-tokoh yang jahil, menuju manhaj shahabat nabi.

Wallahu yahdiy ilaa shirotim mustaqim.

Abu Waqqash rahimahullah, Bumi Khatulistiwa / 23:33 WIB

Salafiyyah, Partai atau Kelompok?

Kemudian para pelontar syubhat itu menyangka -dan seburuk-buruk bekal dan modal seseorang adalah prasangka- bahwa ad-da’wah as-Salafiyah sama seperti partai-partai dan golongan lainnya!

Syubhat ini adalah perkataan rusak dan lemah, tidak mengandung kebenaran sedikit pun! Hal itu, karena ad-da’wah as-Salafiyah adalah dakwah Islam. Lalu, apakah mungkin dakwah Islam ini dikemas dan dibatasi hanya dalam sebuah partai atau golongan? Maksudnya, mungkinkah dakwah Islam ini hanya terbatas dan dibatasi dengan partai? Atau hanya partai ini saja yang membawa dakwah Islam?

Ini satu hal yang tidak mungkin terjadi sama sekali! Saya umpamakan tuduhan ini bagaikan sebuah kisah khurafat yang mustahil terjadi. Kisah itu adalah, terdapat sebuah bangunan menjulang tinggi yang diletakkan di sebuah bejana air.

Maka, Islam bagaikan bangunan besar yang menjulang tinggi, dan partai golongan bagaikan sebuah bejana air. Hal ini merupakan berita khurufat dan mustahil!

Kemudian, orang-orang yang melontarkan tuduhan seperti ini, jika kita ber-husnuzh zhan (bersangka baik) kepada mereka -dan mereka tidak pantas untuk di-husnuzh zhan-kan-, maka sesungguhnya kita katakan tentang mereka, bahwa mereka buruk dalam memahami (hal ini), dan keliru besar dalam memberikan gambaran. Mereka mengira bahwa setiap orang atau pun golongan yang berada di sekeliling as-Salafiyyun adalah partai-partai. Mereka mengatakan “partai ini, golongan ini, gerakan ini, organisasi ini…”.

Mereka dapatkan as-Salafiyyun berada di tengah-tengah mereka. Mereka pun menyama-ratakan seluruhnya. Akhirnya mereka menganggap sama ad-da’wah as-Salafiyah dengan partai-partai atau golongan-golongan lainnya.

Perumpamaan ini, bagaikan sebuah papan berwarna putih. Datang sekelompok orang kemudian mewarnainya dengan warna merah. Berarti ini golongan begini. Kemudian datang lagi sekelompok orang, dan mewarnainya dengan warna biru. Berarti ini golongan demikian. Kemudian datang lagi partai Fulan, dan mewarnainya dengan warna hijau. Kemudian datang lagi organisasi Fulan, dan mewarnainya dengan warna cokelat. Dan begitulah seterusnya.

Namun masih ada sekelompok orang yang berada di atas warna yang asli, warna putih. Mereka tidak terwarnai, mereka tidak merubah dan tidak berubah! Tetapi, kendati pun demikian, orang yang melihat mereka dari kejauhan, apa kira-kira yang akan ia katakan tentang warna putih tersebut? Orang itu akan mengatakan bahwa warna putih sama dengan warna-warna lainnya. Ad-da’wah as-Salafiyah sama dengan partai-partai atau golongan-golongan lainnya. Padahal, warna putih ini tidak berubah sama sekali; ia tetap saja berwarna putih; sebuah warna yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentangnya:

…تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ، لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ

“Artinya : Aku tinggalkan kalian di atas (jalan) yang putih, malamnya bagaikan siangnya, tidak ada seorang pun sepeninggalku yang berpaling darinya melainkan ia (akan) binasa….”[1]

Maka, apabila warna-warna lain telah luntur, (maka) yang akan tinggal dan tetap ada hanyalah warna putih! Apabila orang-orang, golongan-golongan, dan partai-partai telah berjatuhan dari beraneka ragam warna-warni mereka, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kembali warna yang asli; warna putih! Karena warna itulah yang pertama kali ada, dan warna itulah yang seluruh orang akan kembali kepadanya.

Berarti, tuduhan mereka (bahwa ad Da’wah as Salafiyah sama dengan partai-partai atau golongan-golongan lainnya) adalah tuduhan dusta! Prasangka bohong! Tuduhan yang berdasarkan kebodohan dan penyakit, yang seluruhnya menyelisihi al haq yang jelas-jelas nyata; dan tiada seorang pun yang dapat menolaknya!

Mereka, tatkala tidak mampu lagi menghadapi dan melawan ad-da’wah as-Salafiyah dengan ilmu, mereka menghadapinya dengan kedustaan! Mereka hadapi dengan kebohongan! Mereka hadapi dengan sesuatu yang membuat manusia lari dan merasa takut dengan ad-da’wah as-Salafiyah! Jika mereka terus dan tetap melakukan kedustaan itu, maka Allah-lah yang akan menghadapi mereka dengan keadilan-Nya, untuk tetap menegakkan kalimat-Nya yang haq!

Ceramah Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari

di Masjid Islamic Center Jakarta, Ahad, 23 Muharram 1428H/11 Februari 2007M

ref : ibnuramadan.wordpress.com


[1] Hadits shahih riwayat Ibnu Majah (1/16 no. 43) dan lain-lain, dari hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu..Ini lafazh dalam Sunan Ibnu Majah. Dan Syaikh Ali bin Hasan membawakannya dengan lafazh yang mendekati dan mirip dengan lafazh ini. Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah (2/610 no. 9

Awan Tag