Mendakwahkan Tauhid, Menebarkan Sunnah

Posts tagged ‘bantahan’

Kembali pada Al-Qur’an dan Ahlulbait 3.0

Mengenai fikih hadits ini, ada satu penjelasan dari seorang ulama kontemporer yang patut kita kemukakan untuk menambah hazanah dan perbendaraan kita tentang hadits tsaqalain.

Syekh Dr. Ali al-Salus dalam kitabnya “Hadits al-Tsaqalain wa Fiqhuhu” dalam pasal II tentang fiqhul hadits mengatakan:

Saya telah mengisyaratkan sebelumnya kepada pemaknaan yang benar tentang riwayat-riwayat yang shahih, yaitu menunjukkan wajibnya mengambil al-Kitab dan al-Sunnah, yang keduanya tanpa khilaf merupakan dua sumber asasi bagi aqidah dan syariah.

Apa yang telah shahih dari Zaid bin Arqam radiyallahu ‘anhu selain ini juga menunjukkan tentang wajibnya memperhatikan hak-hak ahlulbait (keluarga) Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Di sini menyisakan fikih hadits yang telah saya jelaskan kelemahan jalur-jalurnya –dan hadits dhaif bukanlah hujjah- akan tetapi karena ada yang menshahihkannya maka mari kita lihat pemaknaannya apabila kita mengalah dengan mengakui keshahihannya.

Syaikh al-Alamah al-Munawi dalam Faidh al-Qadir (3/14) berkata: “Jika kalian melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dan mengambil petunjuk ‘Itrahku, dan mengikuti jalan hidupku maka kalian mendapatkan hidayah dan tidak sesat. Al-Qurthubi berkata: wasiat ini dan pengukuhan yang agung ini menunjukkan wajibnya menghormati keluarga beliau, berbuat baik kepada mereka, mengagungkan mereka dan mencintai mereka, serta wajibnya hak-hak yang dikukuhkan yang tidak ada udzur bagi siapapun dalam meninggalkannya.”

Kemudian berkata (3/15): “Keduanya; yaitu kitabullah dan al-Itrah, maksudnya keduanya senantiasa bersama-sama hingga keduanya datang di telaga; maksudnya al-Kautsar di hari kiamat nanti, dalam satu riwayat ada tambahan “seperti ini”, beliau menunjukkan dengan kedua jari telunjukkanya. Dalam hal ini ditambah dengan ucapan Nabi, “Aku tinggalkan di tengah kalian” terdapat isyarat bahkan pernyataan bahwa keduanya adalah seperti dua saudara kembar yang beliau tinggalkan dan berwasiat kepada umatnya agar bagus dalam memperlakukannya, mengutamakan hak-hak keduanya atas dirinya, dan memegangi keduanya dalam beragama. Adapun al-Kitab maka ia adalah tambang ilmu-ilmu agama, rahasia-rahasia dan hukum-hukum syar’i, gudang-gudang hakikat dan seluk beluk hal-hal yang detil. Adapun ‘Itrah maka karena unsur itu jika ia bagus maka ia akan membantunya dalam memahami agama. Jadi bagusnya unsur membawa kepada bagusnya akhlak, maka kebaikan-kebaikannya mengantarkan kepada beningnya hati, kebersiahan dan kesuciannya. Al-Hakim berkata:

وَالْمُرَادُ بِعِتْرَتِهِ هُنَا الْعُلَمَاءُ الْعَامِلُوْنَ إِذْ هُم الَّذِيْنَ لاَ يُفَارِقُوْنَ الْقُرْآنَ ، أَمَّا نَحْوُ جَاهِلٍ وَعَالِمٍ مُخَلِّطٍ فَأَجْنَبِيٌّ مِنْ هَذَا الْمَقَامِ

“Yang dimaksud dengan ‘Itrah di sini adalah para ulama yang mengamalkan al-Qur’an, karena mereka itulah yang tidak meninggalkan al-Qur’an, adapun orang ahli dan alim yang kecampuran maka ia adalah asing dari maqam ini.”

Kemudian al-Syarif berkata:

هٰذَا الْخَبَرُ يُفْهِمُ وُجُوْدَ مَنْ يَكُوْنُ أَهْلاً لِلتَّمَسُّكِ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ وَالْعِتْرَةِ الطَّاهِرَةِ فِيْ كُلِّ زَمَنٍ إِلىَ قِيَامِ السَّاعَةِ حَتىَّ يُتَوَجَّهَ الْحَثُّ الْمَذْكُوْرُ إِلىَالتَّمَسُّكِ بِهِ ، كَمَا أَنَّ الْكِتَابَ كَذٰلِكَ، فَلِذٰلِكَ كَانُوا أَمَانًا لِأَهْلِ الْأَرْضِ ، فَإِذَا ذَهَبُوا ذَهَبَ أَهْلُ الْأَرْضِ

“Hadits ini memberikan pemahaman tentang adanya orang dari kalangan ahlulbait dan Itrah yang suci di setiap zaman hingga hari kiamat yang ahli berpegang teguh dengan al-Qur`an, hingga seruan di atas mengarah kepada berpegang teguh dengannya, sebagaimana al-Kitab juga demikian. Oleh karena itu mereka adalah menjadi keamanan bagi penduduk bumi, maka jika mereka pergi pergilah penduduk bumi.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah setelah menjelaskan bahwa hadits ini dhaif, tidak shahih, berkata:

وَقَدْ أَجَابَ عَنْهُ طَائِفَةٌ بِمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَهْلَ بَيْتِهِ كُلَّهُمْ لاَ يَجْتَمِعُوْنَ عَلىَ ضَلاَلَةٍ قَالُواوَنَحْنُ نَقُوْلُ بِذٰلِكَ كَمَا ذَكَرَ ذٰلِكَ الْقَاضِيْ أَبُوْ يَعْلٰى وَغَيْرُهُ

“Hadits ini telah dijawab oleh sekelompok ulama dengan jawaban yang menunjukkan bahwa ahlu baitnya semuanya tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Mereka berkata: kami mengatakan demikian sebagaiana diterangkan oleh al-Qadhi Abu Ya’la dan lainnya.”

Dia juga berkata:

إِجْمَاعُ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ بَالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعُ، وَالْعِتْرَةُ بَعْضُ الْأُمَّةِ، فَيَلْزَمُ مِنْ ثُبُوْتِ إِجْمَاعِ الْأُمَّةِ إِجْمَاعُ الْعِتْرَةِ

“Ijma’ umat ini hujjah berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’, sedangkan Itrah adalah sebagian umat maka tetapnya ijma’ umat mengharuskan ijma’nya itrah.” (Minhaj al-Sunnah, 4/105)

Dengan melihat ucapan-ucapan ini dan dengan merenungkan matan hadits, maka kami katakan:

  1. Wajib untuk tidak melupakan apa yang dimaksud dengan ahlulbait, karena banyak kelompok yang menistakan Islam dan kaum muslimin mengklaim diri mereka adalah pengikut ahlulbait.

  2. Ahlulbait yang suci tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Ini adalah fakta, dalam sejarah Islam tidak pernah ahlulbait bersepakat atas sesuatu yang menyalahi ijma’ umat Islam, maka mengambil ijma’ mereka adalah megambil ijma’ umat, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Taimiyah.

  3. Setiap manusia bisa diambil dan ditolak ucapannya kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, pada saat khilaf, kita menerapkan firman Allah (an-Nisa`: 59)

  4. Seandainya apa yang disebutkan oleh al-Syarif adalah fikih yang lazim bagi hadits ini, niscaya hal itu sudah cukup untuk menolak matan hadits. Maka hari-hari telah menetapkan kebatilan makna tersebut, jika tidak, maka siapakah yang kita diperintahkan untuk mengikutinya di zaman kita ini misalnya?! Apakah kita diperintah mengikuti salah satu sekte yang dinisbatkan kepada ahlubait? Atau semua sekte yang masing-masing memandang sesat atau kufur sekte yang lain? Lalu bagaimana kita diperintah untuk mengikuti orang yang tidak kita kenal?

  5. Sangat besar perbedaannya antara mengingatkan ahlulbait dengan berpegang teguh dengan ahlulbait. Kasih sayang terhadap anak kecil dan peduli terhadap anak yatim serta menuntun tangan orang jahil tidaklah sama dengan mengambil ilmu dari alim yang abid yang mengamalkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya!”

Di akhir fikih hadits ini kemudian Syaikh Ali al-Salus mengingatkan sesuatu yang penting, yang kesimpulannya beliau berkata: “Saya ingatkan bahwa apa yang diyakini oleh sebagian orang bahwa hadits ini menunjukkan orang-orang tertentu dari ahlulbait yang wajib ditaati dan diambil agama dari mereka dan bahwa yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, dan dia adalah washiyy (penerima wasiat) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini adalah sangat membayakan dan batil sebab menghancurkan agama Islam. Dia menuduh para sahabat yang mulia, manusia terbaik itu, telah menyalahi wasiat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwasanya khilafah ketiga khulafaurrasyidin sebelum Ali itu tidak sah, zhalim dan fasik.

Ini jelas tertolak, karena hadits yang dimaksud dhaif. Kalaupun shahih, maka maknanya mengingatkan hak-hak mereka untuk dicintai dan dihormati. Dan keyakinan Ali sebagai washiyy ini bertentangan dengan dalil-dali yang shahih, antara lain: riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Umar (dalam hadits Bukhari dan Muslim) dan Ali radiyallahu ‘anhu (dalam hadits Ahmad) tidak menunjuk seorang khalifah sesudah mereka, karena meniru Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maksudnya, Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam dulu tidak menentukan siapa khalifah sesudahnya. Hal ini dikuatkan riwayat Imam Ahmad dari Qais bin Abbad bahwa Ali menjawab seorang penanya dengan berkata:

وَاللهِ مَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدًا إِلا شَيْئًا عَهِدَهُ إِلَى النَّاسِ، وَلَكِنَّ النَّاسَ وَقَعُوا عَلَى عُثْمَانَ، فَقَتَلُوهُ، فَكَانَ غَيْرِي فِيهِ أَسْوَأَ حَالًا وَفِعْلًا مِنِّي، ثُمَّ إِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَحَقُّهُمْ بِهَذَا الْأَمْرِ، فَوَثَبْتُ عَلَيْهِ، فَاللهُ أَعْلَمُ أَصَبْنَا أَمْ أَخْطَأْنَا

“Demi Allah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewasiatkan apa-apa (tentang khilafah) kepada saya, kecuali sesuatu yang diwasiatkan kepada manusia. Akan tetapi manusia menentang Usman lalu membunuh mereka, maka selainku di dalamnya lebih buruk keadaan dan perbuatannya dariku, kemudian aku melihat bahwa diriku lebih berhak daripada mereka terhadap khilafah ini, maka aku pun mendudukinya, maka Allah, Maha mengetahui apakah kami benar atau salah.” (Lihat Musnad, 2/no. 1206)

Begitu pula hal ini dikuatkan oleh riwayat Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad bahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam meninggal tanpa berwasiat. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Abi Aufa, dan Sayyidah Aisyah radiyallahu ‘anha.

Kedua: Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Sayyidah Aisyah  bahwa Rasulullah i bersabda:

 لَقَدْ هَمَمْتُ – أَوْ أَرَدْتُ – أَنْ أُرْسِلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَابْنِهِ وَأَعْهَدَأَنْ يَقُولَ القَائِلُونَ – أَوْ يَتَمَنَّى المُتَمَنُّونَ – ثُمَّ قُلْتُيَأْبَى اللَّهُ وَيَدْفَعُ المُؤْمِنُونَ، أَوْيَدْفَعُ اللَّهُ وَيَأْبَى المُؤْمِنُونَ 

“Saya sudah bermaksud -berniat- untuk mengutus kepada Abu Bakar dan putranya, lalu saya berwasiat (tentang khilafah/imamah), karena khawatir akan berkata orang yang berkata, dan khawatir akan berangan-angan orang yang berangan-angan. Kemudian saya katakan: Allah menolak, dan kaum mukminin menolak, atau Allah menolak dan kaum mukminin menolak.”

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah radiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada saya:

ادْعِي لِي أَبَا بَكْرٍ، أَبَاكِ، وَأَخَاكِ، حَتَّى أَكْتُبَ كِتَابًا، فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ وَيَقُولُ قَائِلٌأَنَا أَوْلَى، وَيَأْبَى اللهُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلَّا أَبَا بَكْرٍ

“Panggillah untukku Abu Bakar; ayahmu dan saudaramu, hingga aku menulis satu kitab (wasiat tentang khilafah), karena aku khawatir ada orang yang berangan-angan dan ada orang yang berkata “aku lebih berhak”, dan Allah serta orang-orang beriman menolak kecuali Abu Bakar.”

Hadits ini menunjukkan bahwa seandainya khilafah itu dengan nash, niscaya Abu Bakar lebih berhak. Dan telah terbukti apa yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah menolak dan orang mukmin menolak kecuali Abu Bakar.

Penutup:

Demikianlah riwayat-riwayat hadits tsaqalain yang saya kutip dari kitab-kitab sunnah. Saya terangkan setiap matan bersama takhrijnya. Lalu saya terangkan maknanya yang benar, dan faktor-faktor yang menggugurkan klaim syi’ah terhadap aqidah imamah dan washiyyah mereka. Lalu saya sebutkan ringkasan dari kitab Syaih Abdul Aziz al-Dahlawi dan terakhir saya sebutkan penjelasan Syaikh Dr. Ali bin Ahmad al-Salus.

Jika saya telah berbuat benar maka itu karunia dari Allah, dan jika saya berbuat salah maka saya telah mengerahkan kesungguhan saya untuk sampai kepada kebenaran. Semoga menjadikannya sebagai ilmu yang bermanfaat. Aamiin.

ref: binamasyarakat.com

Adakah Dzikir Berjama’ah Setelah Sholat

Hadits yang menerangkan masalah mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim, berikut teks aslinya:

عن ابن عباس رضي الله عنهما: أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم. وقال ابن عباس كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته

Dari Ibnu Abbas ra: “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai sholat wajib, itu telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar dzikir itu” (HR. Bukhori: 796, dan Muslim: 919)

Dalam riwayat lain dikatakan:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: كنت أعرف انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير

Ibnu Abbas mengatakan: “Aku dulu tahu selesainya sholat (jama’ah) Nabi -shollallohu alaihi wasallam- itu dengan (terdengarnya suara) takbir” (HR. Bukhori: 797, dan Muslim:917)

Akhi fillah… Dalam memahami hadits, antum tidak usah bingung… Di sana sudah ada banyak kitab syarah hadits dari para ulama, baik dari yang terdahulu maupun yang datang belakangan… Jika ada pertentangan antara ulama terdahulu dengan ulama yang datang belakangan, maka kita dahulukan tafsiran dari ulama terdahulu, karena mereka jelas lebih tahu dalam masalah agama dari generasi yang datang setelahnya, karena mereka lebih dekat dengan zaman Nabi, lebih suci hatinya, dan lebih dalam pemahamannya tentang syariat Islam.

Syarah hadits di atas sudah diterangkan oleh para ulama terdahulu, diantaranya:

1. Ibnu Huzaimah

Beliau memasukkan hadits di atas dalam kitab shohih-nya, dan memberinya judul:

باب: رفع الصوت بالتكبير والذكر عند انقضاء الصلاة

Bab: Mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat (wajib).

Ini menunjukkan, bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat wajib.

2. Imam Nawawi:

هَذَا دَلِيل لِمَا قَالَهُ بَعْض السَّلَف أَنَّهُ يُسْتَحَبّ رَفْع الصَّوْت بِالتَّكْبِيرِ وَالذِّكْر عَقِب الْمَكْتُوبَة. وَمِمَّنْ اِسْتَحَبَّهُ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ اِبْن حَزْم الظَّاهِرِيّ. وَنَقَلَ اِبْن بَطَّال وَآخَرُونَ أَنَّ أَصْحَاب الْمَذَاهِب الْمَتْبُوعَة وَغَيْرهمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى عَدَم اِسْتِحْبَاب رَفْع الصَّوْت بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِير. وَحَمَلَ الشَّافِعِيّ -رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى- هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ جَهَرَ وَقْتًا يَسِيرًا حَتَّى يُعْلِّمهُمْ صِفَة الذِّكْر, لا أَنَّهُمْ جَهَرُوا دَائِمًا قَالَ: فَأخْتَارَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم أَنْ يَذْكُرَا اللَّه تَعَالَى بَعْد الْفَرَاغ مِنْ الصَّلَاة وَيُخْفِيَانِ ذَلِكَ, إِلا أَنْ يَكُون إِمَامًا يُرِيد أَنْ يُتَعَلَّم مِنْهُ فَيَجْهَر حَتَّى يَعْلَم أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ, ثُمَّ يُسِرُّ, وَحَمَلَ الْحَدِيث عَلَى هَذَا.

Hadits ini merupakan dalil pendapatnya sebagian ulama salaf, yang mengatakan disunnahkannya mengeraskan takbir dan dzikir saat  selesai sholat wajib. Diantaramuta’akhkhirin yang juga men-sunnah-kannya adalah Ibnu Hazm azh-Zhohiri.

Tapi Ibnu Baththol dan para ulama lainnya menukil, bahwa para ulama madzhab yang diikuti dan yang lainnya sepakat dengan pendapat tidak disunnahkannya mengangkat suara ketika dzikir dan takbir.

(Sedang) Imam Syafi’i -rohimahulloh-, beliau memaknai hadits ini dengan mengatakan: bahwa beliau -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengeraskannya hanya untuk sementara waktu saja, dengan tujuan mengajari para sahabatnya cara berdzikir, bukan berarti mereka mengeraskannya secara terus menerus. Imam Syafi’i mengatakan: “Saya memilih (pendapat) untuk imam dan ma’mum, agar mereka membaca dzikir setelah sholat dengan melirihkan suara, kecuali untuk imam yang ingin agar para ma’mumnya bisa belajar darinya, maka boleh baginya mengeraskan suaranya, hingga jika ia melihat para ma’mum telah belajar darinya, ia melirihkan kembali suaranya”. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. (Syarah Shohih Muslim lin Nawawi).

3. al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani, ketika men-syarah hadits di atas beliau mengatakan:

وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز الْجَهْر بِالذِّكْرِ عَقِب الصَّلاة

Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah sholat (Fathul Bari).

4. Ibnu Daqiq al-Id, juga menyatakan hal yang sama:

فيه دليل على جواز الجهر بالذكر عقيب الصلاة والتكبير بخصوصه من جملة الذكر

Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah sholat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir. (Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam)

Adapun ulama kontemporer, diantara mereka yang membicarakan masalah ini adalah:

1. Syeikh Bin Baz mengatakan dalam fatwanya:

ثبت في الصحيحين عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من الصلاة المكتوبة كان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال ابن عباس رضي الله عنهما (كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته). فهذا الحديث الصحيح وما جاء في معناه من حديث ابن الزبير والمغيرة بن شعبة رضي الله عنهما وغيرهما كلها تدل على شرعية رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة على وجه يسمعه الناس الذين عند أبواب المسجد وحول المسجد حتى يعرفوا انقضاء الصلاة بذلك. ومن كان حوله من يقضي الصلاة فالأفضل له أن يخفض قليلاً حتى لا يشوش عليهم، عملاً بأدلة أخرى جاءت في ذلك. وفي رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة فوائد كثيرة: فيها إظهار الثناء على الله سبحانه وتعالى على ما مَنَّ به عليهم من أداء هذه الفريضة العظيمة. ومن ذلك تعليم للجاهل وتذكير للناسي، ولولا ذلك لخفيت السنة على كثير من الناس. والله ولي التوفيق

Telah disebutkan dalam kitab shohihain (shohih bukhori & shohih Muslim), dari riwayatnya Ibnu Abbas -rodliallohu anhuma- (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari sholat wajib, itu telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.

Hadits yang shohih ini, dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, seperti hadits riwayat Ibnuz Zubair, dan Al-Mughiroh bin Syu’bah -rodliallohu anhuma-, semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai sholat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya sholat (jama’ah) dengan (kerasnya suara dzikir) itu.

(Tapi) bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan sholatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu.

Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai sholat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya:

a. Menampakkan pujian kepada Alloh ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini.

b. (Sebagai sarana untuk) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallohu waliyyut taufiq.

2. Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, mengatakan dalam risalahnya:

إن الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة، دل عليها ما رواه البخاري من حديث عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما – أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم قال: “وكنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته”. ورواه الإمام أحمد وأبو داود. وهذا الحديث من أحاديث العمدة، وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة – رضي الله عنه – قال: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة: “لا إله إلا الله وحده لا شريك له”. الحديث، ولا يسمع القول إلا إذا جهر به القائل. وقد اختار الجهر بذلك شيخ الإسلام ابن تيميه -رحمه الله- وجماعة من السلف، والخلف، لحديثي ابن عباس، والمغيرة رضي الله عنهم. والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلاً، أو تسبيحاً، أو تكبيراً، أو تحميداً لعموم حديث ابن عباس، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير، وبهذا يعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير. وأما من قال: إن الجهر بذلك بدعة فقد أخطأ فكيف يكون الشيء المعهود في عهد النبي صلى الله عليه وسلم بدعة؟!… وأما احتجاج منكر الجهر بقوله تعالى: (وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ). فنقول له: إن الذي أمر أن يذكر ربه في نفسه تضرعاً وخيفة هو الذي كان يجهر بالذكر خلف المكتوبة، فهل هذا المحتج أعلم بمراد الله من رسوله، أو يعتقد أن الرسول صلى الله عليه وسلم يعلم المراد ولكن خالفه؟!… وأما احتجاج منكر الجهر أيضاً بقوله صلى الله عليه وسلم: “أيها الناس اربعوا على أنفسكم”. الحديث فإن الذي قال: “أيها الناس أربعوا على أنفسكم” هو الذي كان يجهر بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، فهذا له محل، وذاك له محل، وتمام المتابعة أن تستعمل النصوص كل منها في محله… أما من قال: إن في ذلك تشويشاً فيقال له: إن أردت أنه يشوش على من لم يكن له عادة بذلك، فإن المؤمن إذا تبين له أن هذا هو السنة زال عنه التشويش، إن أردت أنه يشوش على المصلين، فإن المصلين إن لم يكن فيهم مسبوق يقضي ما فاته فلن يشوش عليهم رفع الصوت كما هو الواقع، لأنهم مشتركون فيه. وإن كان فيهم مسبوق يقضي فإن كان قريباً منك بحيث تشوش عليه فلا تجهر الجهر الذي يشوش عليه لئلا تلبس عليه صلاته، وإن كان بعيداً منك فلن يحصل عليه تشوش بجهرك. وبما ذكرنا يتبين أن السنة رفع الصوت بالذكر خلف الصلوات المكتوبة، وأنه لا معارض لذلك لا بنص صحيح ولا بنظر صريح، وأسأل الله تعالى أن يرزقنا جميعاً العلم النافع والعمل الصالح، إنه قريب مجيب، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Mengeraskan dzikir saat selesai sholat wajib adalah sunnah, hal itu telah diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari haditsnya Abdulloh bin Abbas -rodliallohu anhuma- (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari sholat wajib, itu telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini termasuk diantara hadits-hadits utama (dalam masalah ini).

Dalam kitab shohihain, dari haditsnya al-Mughiroh bin Syu’bah -rodliallohu anhu-, ia mengatakan: “Aku pernah mendengar Nabi -shollallohu alaihi wasallam- jika selesai sholat (wajib), ia membaca dzikir: “la ilaaha illalloohu wahdahuu laa syariika lah…” (hingga akhir hadits). Dan dia tidak akan mendengar bacaan dzikir itu, kecuali orang yang mengucapkannya mengeraskan suaranya. (Bahkan) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh- dan sekelompok ulama salaf telah memilih pendapat (sunnahnya) mengeraskan dzikir, dengan dasar dua hadits, yakni haditsnya Ibnu Abbas dan al-Mughiroh -rodliallohu anhum-.

Mengeraskan dzikir di sini, berlaku umum untuk semua dzikir setelah sholat yang disyariatkan, baik itu berupa tahlil, atau tasbih, atau takbir, atau tahmid. Karena umumnya redaksi hadits Ibnu Abbas. Dan tidak ada keterangan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam- yang membedakan antara tahlil dan yang lainnya. Bahkan dalam haditsnya Ibnu Abbas dikatakan, bahwa para sahabat dahulu tahu selesainya sholat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dengan takbir. Keterangan ini, membantah orang yang berpendapat tidak bolehnya mengeraskan suara kecuali pada tasbih, tahmid dan takbir.

Adapun orang yang mengatakan, bahwa mengeraskan (dzikir setelah sholat) itu bid’ah, maka sungguh ia salah (dalam hal ini), karena bagaimana mungkin sesuatu yang ada di zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dikatakan bid’ah?!

Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (dzikir setelah sholat ini) dengan firman-Nya: “Sebutlah (wahai Muhammad) nama Tuhanmu di dalam dirimu, dengan rendah hati dan suara yang lirih serta tidak mengeraskan suara, ketika awal dan akhir hari. Dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai” (al-A’rof: 205). Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya yang diperintah untuk berdzikir dalam diri dengan rendah hati dan suara lirih (yaitu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah sholat wajib. Lalu apakah orang itu lebih tahu maksud Alloh dalam ayat itu melebihi rosul-Nya?! Ataukah ia beranggapan bahwa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- sebenarnya tahu maksud ayat itu, tapi beliau sengaja menyelisihinya?!

Adapun orang yang mengingkari amalan mengeraskan (dzikir setelah sholat ini) dengan sabda beliau -shollallohu alaihi wasallam-“Wahai manusia, sayangilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadits)”. Maka bisa dijawab dengan mengatakan: Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah sholat wajib ini. Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan memakai semua nash yang ada, pada tempatnya masing-masing.

Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya:

Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka hal itu akan hilang (dengan sendirinya), ketika ia tahu bahwa amalan itu adalah sunnah.

Jika maksudmu akan mengganggu jama’ah yang lain, maka jika tidak ada ma’mum yang masbuq, tentu hal itu tidak akan mengganggu mereka, sebagaimana fakta di lapangan. Karena mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya.

Adapun jika ada ma’mum masbuq yang sedang menyelesaikan sholatnya, maka jika ia dekat denganmu hingga kamu bisa mengganggunya dengan (kerasnya) suara dzikirmu, maka janganlah kamu meninggikan suara dengan tingkatan  suara yang  bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu sholatnya. Sedang jika ia jauh darimu, maka tentu kerasnya suara (dzikir)-mu tidak akan mengganggunya sama sekali.

Dengan keterangan yang kami sebutkan di atas, menjadi jelas bagi kita, bahwa mengeraskan dzikir setelah sholat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shohih, maupun dengan sisi pendalilan yang jelas.

Aku memohon kepada Alloh, semoga Dia memberikan kita semua ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang baik, sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. (Ditulis pada 15/06/1409)

3. Fatawa Lajnah Da’imah

يُشرَع رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة المكتوبة، لما ثبت من حديث ابن عباس رضي الله عنهما قال: (إن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم) وأنه قال أيضا: (كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته) ولو وجد أناس يقضون الصلاة سواء كانوا أفرادا أو جماعات وذلك في جميع الصلوات الخمس المفروضة … أما رفع الصوت بالدعاء وقراءة القرآن بصفة جماعية فهذا لم يرد عنه صلى الله عليه وسلم ولا عن صحابته وفعله بدعة أما إذا دعا الإنسان لنفسه أو قرأ لنفسه جهرا فلا شيء فيه إذا لم يتأذ به غيره.

Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah sholat wajib, karena adanya keterangan yang shohih dari hadits Ibnu Abbas -rodliallohu anhuma-, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari sholat wajib, itu telah ada di masa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-“. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya sholat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.

(Mengeraskan dzikir setelah sholat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan sholatnya, baik mereka itu (menyelesaikan sholatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua sholat wajib yang lima waktu…

Adapun mengeraskan doa dan membaca Alqur’an secara jama’i (bersama-sama),  maka hal ini tidak pernah ada tuntunannya dari Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, maupun dari para sahabat beliau. (Oleh karena itu), perbuatan itu termasuk bid’ah.

Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau membaca quran sendiri dengan suara tinggi, maka hal itu tidak mengapa, asal tidak mengganggu orang lain…

Kesimpulan:

1. Hadits diatas adalah hadits shohih, telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dalam dua kitab shohihnya.

2. Makna hadits diatas menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir yang dituntunkan untuk dibaca setelah jama’ah sholat wajib.

3. Dzikir secara umum sunnahnya dilirihkan, sebagaimana firman-Nya: “Ingatlah Tuhanmu dalam dirimu dengan rendah hati, dan rasa takut, serta tanpa mengeraskan suara…” (al-A’rof: 205), kecuali bila ada dalil yang meng-khususkan dzikir tertentu untuk dikeraskan, seperti hadits di atas.

4. Tidak ada ulama salaf yang mengatakan bahwa hadits di atas merupakan dalil bolehnya dzikir jama’i ataupun doa jama’i.

5. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa mengeraskan dzikir setelah jamaah sholat wajib lima waktu, tidak sesuai sunnah. Beliau mentakwil hadits di atas dengan mengatakan bahwa hal itu hanya dilakukan oleh Rosululloh -sholallallohu alaihi wasallam- untuk sementara waktu saja, karena tujuan mengajari para sahabatnya. Oleh karenanya beliau hanya membolehkan mengeraskan dzikir yang dibaca setelah jama’ah sholat wajib ketika ada tujuan itu, jika tidak ada tujuan itu, maka sunnahnya dilirihkan. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Nawawi dan Syeikh Albani -rohimahumulloh-.

6. Bahkan Ibnu Baththol, sebagaimana dinukil oleh Imam nawawi mengatakan, bahwa para ulama madzhab yang diikuti dan yang lainnya sepakat dengan pendapat tidak disunnahkannya mengangkat suara ketika dzikir dan takbir setelah sholat wajib.

7. Adapun penulis -yang miskin ilmu ini-, lebih menguatkan pendapat disunnahkannya mengeraskan dzikir yang dituntunkan untuk dibaca setelah jama’ah sholat wajib, karena beberapa alasan:

a. Dhohir lafal hadits di atas secara tegas mengatakan, bahwa pada zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam- para sahabat mengeraskan dzikir setelah jamaah sholat wajib, tanpa ada batasan keadaan tertentu. Padahal sesuai kaidah ushul fikih, makna dhohir itu harus didahulukan dan diamalkan, kecuali ada dalil kuat yang me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau men-takwil-nya.

b. Tidak adanya dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya dzikir setelah sholat wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.

c. Memakai dua dalil tentang melirihkan dan mengeraskan dzikir secara bersamaan, pada tempatnya masing-masing, lebih utama dari pada hanya memakai dalil tentang sunnahnya dzikir dengan melirihkan suara saja, lalu men-takhsis dalil tentang mengeraskan dzikir di atas untuk keadaan tertentu saja… Karena bagaimanapun juga mengamalkan dua dalil secara lebih sempurna itu lebih baik, dari pada hanya mengamalkan satu dalil saja, sedang dalil yang lain tidak dipakai kecuali dalam keadaan tertentu saja… wallohu a’lam.

http://addariny.wordpress.com/2009/12/13/mengeraskan-dzikir-stlh-jamaah-sholat-wajib/

—————————————

Oleh Syaikh Muhammad nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Bagaimana hukum mengeraskan suara dalam dzikir setelah shalat?”

Jawaban.
Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:

“Artinya : Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras”.

Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu ‘Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal “Kunnaa” (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara ini tidaklah berlangsung terus menerus.

Berkata Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.

Ini mengingatkanku akan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang bolehnya imam mengeraskan suara pada bacaan shalat padahal mestinya dibaca perlahan dengan tujuan untuk mengajari orang-orang yang belum bisa.

Ada sebuah hadits di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para shabahat bacaan ayat Al-Qur’an di dalam shalat Dzuhur dan Ashar, dan Umar juga melakukan sunnah ini.

Imam Asy-Syafi’i menyimpulkan berdasarkan sanad yang shahih bahwa Umar pernah men-jahar-kan do’a iftitah untuk mengajari makmum ; yang menyebabkan Imam ASy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan lain-lain berkesimpulan bahwa hadits di atas mengandung maksud pengajaran. Dan syari’at telah menentukan bahwa sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi.

Walaupun hadits : “Sebaik-baik dzikir adalah yang tersembunyi (perlahan)”. Sanad-nya Dhaif akan tetapi maknanya ‘shahih’.

Banyak sekali hadits-hadits shahih yang melarang berdzikir dengan suara yang keras, sebagaimana hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang terdapat dalam Shahihain yang menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Musa berkata : Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo’a kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian sendiri”.

Kejadian ini berlangsung di padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapapun. Lalu bagaimana pendapatmu, jika mengeraskan suara dzikir itu berlangsung dalam masjid yang tentu mengganggu orang yang sedang membaca Al-Qur’an, orang yang ‘masbuq’ dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu orang lain inilah kita dilarang mengeraskan suara dzikir.

Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat (berbisik-bisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian men-jahar-kan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain.

Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat.

“Artinya : Sehingga mengganggu kaum mu’minin (yang sedang bermunajat)”.

[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa AlBani.Fatwa-Fatwa AlBani, hal 39-41, Pustaka At- Tauhid]

http://almanhaj.or.id/content/1501/slash/0

Awan Tag