Mendakwahkan Tauhid, Menebarkan Sunnah

Posts tagged ‘Vonis’

Vonis Ahlussunnah atau Ahlubid’ah

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata dalam kitab “Al-Ibanah ‘An Kaifiyah At-Ta’amul Ma’a Al-Khilaf Baina Ahlis Sunnah Wa Al-Jama’ah” halaman 35-37:

Vonis seorang muslim dikatakan sebagai ahlus sunnah atau ahlul bid’ah merupakan permasalahan yang sangat penting. Karena mengeluarkan seseorang dari sunnah tanpa alasan yang jelas adalah perkara yang besar, dan memasukkannya ke dalam sunnah padahal dia bukan orang yang berhak adalah penipuan! Berjalan bersama batasan yang diakui adalah penjaga dari sikap mempersulit dan sikap penggampangan. Dan batasan yang diakui ini telah dijelaskan oleh para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa” (3/346): “Siapa yang berkata berlandaskan kitab, sunnah dan ijma’ adalah termasuk dari ahlus sunnah wa al-jama’ah”.

Dan beliau berkata dalam sumber yang sama (4/155): “Maka diketahui bahwa sebagian syi’ar ahlul bida’ adalah meninggalkan pengikutan jejak salaf. Oleh karenanya Al-Imam Ahmad berkata dalam risalah Abdus bin Malik: “Pokok-pokok sunnah di sisi kami adalah berpegang dengan apa yang ditempuh oleh para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”.

Beliau juga berkata dalam sumber yang sama (10/383-384): “Tidaklah dari para imam kecuali orang yang memiliki ucapan dan perbuatan yang tidak berhak diikuti padanya, bersamaan dengan itu dia tidak berhak dicela karenanya. Adapun ucapan dan perbuatan yang tidak diketahui secara pasti penyelisihannya terhadap kitab dan sunnah, bahkan hal itu termasuk tempat ijtihad yang para ulama dan iman berselisih padanya, maka perkara ini bisa jadi perkara yang pasti bagi sebagian orang yang Allah Ta’ala telah menampakkan al-haq kepadanya, akan tetapi dia tidak mungkin untuk mengharuskan orang lain perkara yang jelas baginya namun belum jelas bagi mereka.”.

Dan beliau juga berkata dalaam “Al-Fatawa Al-Kubra” (4/193): “Kebid’ahan yang pelakunya digolongan sebagai pengikut hawa nafsu adalah perkara yang masyhur di sisi ulama dan ahlus sunnah penyelisihannya terhadap kitab dan sunnah: seperti bid’ah al-khawarij, ar-rafidhah, al-qadariyah dan al-murji’ah.”.

Adz-Dzahaby berkata dalam “As-Siyar” (19/327): “Masih saja para ulama berbeda pendapat, dan seorang ‘alim berkata tentang ‘alim yang lain dengan ijtihadnya. Masing-masing darinya diberi udzur dan diberi pahala. Siapa yang menentang dan menghancurkan ijma’ maka dia berhak mendapatkan dosa. Dan kepada Allahlah semua perkara dikembalikan.”.

Asy-Syathiby berkata dalam “Al-I’tisham” (2/712-713): “Yang demikian bahwa firqah-firqah ini sesungguhnya menjadi firqah-firqah (sempalan) karena penyelisihannya terhadap al-firqah an-najiyah dalam makna kseluruhan dalam agama ini, dan dalam kaidah dari kaidah-kaidah syar’iyah, bukan dalam bagian tertentu saja, dimana bagian dan cabang yang ganjil tidaklah tercipta darinya penyelisihan yang karenanya terjadi perpecahan yang berkeping-keping. Hanya saja perpecahan itu tercipta ketika terjadinya penyelisihan dalam perkara-perkara yang bersifat menyeluruh, karena perkara yang menyeluruh itu nash dari perkara bagian yang tidak sedikit. Dan bentuknya secara umum adalah tidak terkhusus pada suatu tempat dan keadaan saja, tidak pula pada suatu bab saja…. Adapun perkara bagian berbeda dengan hal itu. Bahkan terjadinya hal itu termasuk perkara yng diada-adakan seperti ketergelinciran dan kekeliruan.”.

Orang tua kami Al-Wadi’y berkata dalam kitab “Tuhfah Al-Mujib” (111): “Adapun kapan seseorang dikatakan keluar dari manhaj as-salaf ash-shalih adalah jika melakukan kebid’ahan. Dan jika telah keluar dari manhaj As-Salaf, entah kepada shufiyah, atau syi’ah, atau mengadakan maulid atau menyambut aturan-aturan yang diada-adakan, atau berloyalitas secara sempit seperti hizbiyah yang mana ia adalah loyalitas yang sempit, maka dia berloyalitas karena hizb (kelompok), dan memusuhi karena hizb (kelompok).”.

Maka jelaslah dari perkataan para ulama, bahwa seorang sunny adalah orang yang dikenal mengikuti pokok-pokok yang telah dikukuhkan yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah dan apa yang ditempuh para salaf. Ittiba’ ini mencakup ittiba’ secara zhahir dan bathin dan secara menyeluruh. Berloyalitas terhadap orang yang beragama dengan tiga pokok ini dan dia berpegang dengannya.

Seseorang dikatakan sebagai mubtadi’ (ahlul bid’ah) dengan penyelisihannya terhadap tiga pokok ini dengan penyelisihan secara menyeluruh, seperti seorang yang murtad dari Islam, atau penyelisihan secara bagian yang diketahui secara pasti dalam Islam, dia memusuhi dan berloyalitas di atasnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata sebagaimana dalam “Majmu’ Al-Fatawa” (6/338): “Oleh karena itu merupakan syi’ar ahlul bida’ adalah pengada-adaan suatu ucapan atau perbuatan, dan mengharuskan manusia untuk menganutnya serta memaksakannya pada mereka, berloyalitas di atasnya dan memusuhi yang meninggalkannya, sebagaimana khawarij mengada-adakan pemikirannya, mengharuskan manusia untuk menganutnya, dia berloyalitas dan memusuhi berdasar kepadanya. Dan rafidhah mengada-adakan pemikirannya mengharuskan manusia untuk menganutnya, dia berloyalitas dan memusuhi berdasar kepadanya.”.

Saya berkata: Suatu perkara yang diketahui bahwa banyak dari ahlul bida’ yang mengaku mengikuti kitab dan sunnah serta tidak menyimpang dari ittiba’ kepada salaf.  Berdasarkan hal ini, maka merupakan tanda yang jelas dari ahlul bida’ yakni keluar dari apa yang ditempuh para salaf. Sebagian hizb dan firqah mengangkat syi’ar-syi’ar salaf, dan menyangka bahwasannya cukup dalam mengikuti salaf dalam masalah aqidah, adapun dalam hal manhaj (metode) maka mereka tidak memandang perlunya untuk mengikuti salaf.

Ucapan yang selalu mereka dengungkan: “Manhaj kami salafy dan pergerakan kami mengikuti zaman”. Maka ini merupakan bentuk keluar dari manhaj salaf secara bid’ah, dimana kaidah ini serupa dengan kaidah ahlu bida’ zaman dahulu seperti “Agama itu syari’at dan hakikat”, dan “Agama itu ada bagian kulit dan inti”,  serta “Bagi syari’at ini ada yang zhahir dan yang bathin”.

Maka berdasarkan apa yang telah disebutkan, tidaklah seorang sunny menjadi mubtadi’ dengan sebab bermudah-mudahan dalam sebagian sunnah, tidak juga menjadi mubtadi’ dengan sebab beradanya dia bersama hizb atau firqah karena amalan duniawi (bisnis dll) bersamaan dengan itu dia tetap mencintai ahlus sunnah dan meyakini aqidah mereka. Tidak pula menjadi seorang mubtadi’  tidak pula hizby disebabkan adanya saling tolong menolong terhadap seorang syaikh dari para masyayikh ahlus sunnah. Jika tolong menolong tersebut sampai pada tingkatan fanatik secara salah maka dia dicela atas hal itu. Dan tidak menjadi hizby sebelum dinasehati, terkhusus dari ulama sunnah.

Diterjemahkan oleh

‘Umar Al-Indunisy

Darul Hadits – Ma’bar, Yaman

Awan Tag